Kamis, 23 April 2015

Asumsi Dasar Ilmu Pengetahuan: Rasionalisme Vs Empirisme



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sejarah  filsafat zaman modern adalah Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda.
B.     Rumusan Masalah
Untuk membahas makalah ini lebih lanjut, di perlukan adanya rumusan masalah sebagai berikut:
Apa yang di maksud Rasionalisme dan empirisme?
C.    Tujuan Penulisan

Untuk memenuhu tugas mata kuliah filsafat ilmu.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Rasionalisme
Setelah pemikiran renaissance pada penyempurnaanya, yaitu telah tercapainya kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengetahuan yang secara alamiyah dapat di pakai manusia, yaitu akal ( rasio) dan pengalaman (empiri).
Karena orang mempunyai kecenderungan untuk membentu aliaran berdasarkan salah satu di antara keduanya, maka keduanya sama sama membentuk aliran tersendiri yang saling bertentangan.
Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Raasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang di sebut sebagai bapak filsafat modern . ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran . ia menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandinganya, harus disusun oleh satu orang , sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus di pandang sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah pilah (Clear and distinctively).  Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti karna ilmu pasti dapat di jadikan model cara  mengenal secara dinamis.[1]
            Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat di percaya adalah akal.
Hanya pengetahuan yang di peroleh lewat akalah yang memenuhi syarat yang di tuntut oleh semua ilmu pengetahan ilmiah . dengan akal dapat di peroleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang di contohkan dalam ilmu pasti.
            Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebasskan diri dari segala pemikiran tradisional (sekolastik), yang pernah diterima , tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil hasil ilmu pengetahuan yang di hadapi. Apa yang di tanam aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih di pengaruhi oleh hayalan hayalan.
            Descartes menginginkan cara yang baru dalam berfikir, maka di perlukan titi tolak pemikiran pasti yang dapat di temukan dalam keragu raguan, Cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada). Jelasnya , bertolak dari keraguan untuk mendapatkan kepastian.
Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
  1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
  2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
  3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam  adalah perwujudan dunia yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua;pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu pengetahuan.  Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.
Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.
Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.
Karena pengembangan rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.



B.     Empirisme
                                                Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria  yang berarticoba-coba atau pengalaman. Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.[2]
Kata empirisme menurut Amsal Bakhtiar berasal dari kata Yunani empereikos yang berarti pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh  pengetahuan  dari  pengalaman  inderawi.  Hal  ini  dapat  dilihat  bila memperhatikan  pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?” Seorang empiris akan mengatakan, “Karena saya merasakan hal itudan karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu”. Dalam pernyataantersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek), yangdiketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimanadia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba  dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[3]

Sebagai tokohnya adalah Thomas Hobbes , Jhon Locke, dan david Hume. Karna adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya , pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot hal ini terjadi karena filsafaat tidak berguna lagi bagi kehidupan.
Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan . kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya di peroleh lewat indra (empiri), dan empirilah satu satunya sumber pengetahuan . pengetahuan tersebut lahir dengan nama empirisme.
Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu pengetahuan.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris

 DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro.  Filsafat Umum. Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Fuad Ihsan. Filsafat Ilmu.(Jakarta :Rineka Cipta, 2010)
Amsal Bakhtiar,Filsafat Ilmu, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012





[1] Achmadi, Asmoro.  Filsafat Umum. Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Hal. 115-116
[2] Fuad Ihsan. Filsafat Ilmu.(Jakarta :Rineka Cipta, 2010) hal 163

[3] Amsal Bakhtiar,Filsafat Ilmu, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 98

KLASIFIKASI TERMINOLOGI HADITS



BAB 1
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Ulumul hadits (dalam bahasa Arab: الحديث) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad SAW. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al-Qur'an.
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW. Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.

B. Rumusan Masalah
Untuk membahas makalah ini lebih lanjut, di perlukan adanya rumusan masalah sebagai berikut:
Ø  Devinisi hadits ,khabar ,naba ,atsar dan sunnah .
Ø  Definisi sanad dan matan .
Ø  Definisi rawi , muhaddits , hafidz , hakim dan amirul mu’minin
C.Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas makalah dari mata kuliah ulumul hadits, serta kita bisa lebih mengenal tentang definisi hadits dan lebih memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi sehingga dalam proses mempelajarinya kita tidak menemukan kesulitan .




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian ulumul hadits
                   Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqrir, atau sifat.” dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”. Sedangkan pengertian hadist adalah berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama.  Tujuan mempelajari ilmu hadis adalah untuk membedakan antara hadis sahih dan dha’if.

B.     Pengertian khabar ,naba ,atsar dan sunnah .
Ø  Khabar adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW ataupun yang lainnya, yaitu shahabat beliau, tabi’in, tabi’ tabi’in, atau generasi setelahnya
Ø  Naba  Menurut bahasa berarti berita. Menurut istilah an-naba’ sinonim dari al-khabar, artinya memiliki definisi yang sama dengan al-khabar. 
Ø   Atsar  Menurut bahasa berarti بَقِيَةُ الشَيْئ  yaitu “sisa” atau “jejak”. Menurut istilah terdapat dua pendapat: 
1. Sinonim dari hadîts, dengan kata lain memiliki pengertian yang sama dengan hadîts. 
2. Memiliki pengertian yang berbeda dengan hadîts, yaitu berarti sesuatu yang disandarkan kepada para shahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan maupun perbuatan. 



Imam Nawawi mengatakan bahwa para ahli hadîts menamakan Hadîts Marfû’dan Hadîts Mauqûf sebagai atsar. 
Ø   As-sunnah Menurut bahasa sunnah berarti السِّيْرَةُ المُتْبَعَـةُ  yaitu suatu perjalanan yang diikuti, baik itu dinilai sebagai perjalanan yang baik ataupun perjalanan yang buruk .
Menurut istilah ulama ahli hadîts, sunnah sinonim hadîts atau memiliki pengertian yang sama dengan istilah hadîts yang telah berkembang. Sebagian ‘Ulama’ yang mendefinisikan dengan ungkapan singkat :اَقْوَالُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفْعَالُهُ وَاَحْوَالُهُ  (“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan beliau dan segala tingkah laku beliau”)

C.     Pengertian Sanad Dan Matan
v  Kata sanad secara etimologis, berakar dari kata sanada-yasnudu, yang berarti ”sandaran”, atau sesuatu yang dijadikan sandaran (mu’tamad) sedangkan menurut istilah sanad adalah “silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits”.
v   Kata matan atau al- matnu. Menurut bahasa berarti Sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi (tanah). Sedangkan menurut istilah adalah “Beberapa lafadz hadist yang membentuk beberapa makna”.

D.    Pengertian Rawi , Muhaddits , Hafidz , Hakim Dan Amirul Mu’minin
a)      Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (naqil al-hadits).
   Antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang menbedakan rawi dan sanad adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.
Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi juga disebut mudawwin atau (orang yang membukukan dan menghimpun hadits).

b)      Muhaddits
Menurut ulama hadits mutaqaddimin, al-Hafidz dan al-Muhaddits memiliki satu arti, tetapi menurut ulama hadits muta-akhirin, al-Hafidz lebih khusus dari al-Mudaddits. Menurut at-Taj as-Subki, muhaddits adalah seorang yang mengetahui segala permasalahan Hadits, baik dari segi sanad, ‘illat-‘illat, nama para perawi, ‘âlî dan nâzil, hafal sejumlah besar matan hadîts, dan mempelajari al-Kutub as-Sittah di samping Musnad Ahmad, Sunan al-Baihaqi, Mu’jam ath-Thabrani serta seribu juz hadîts .
Ulama Hadits yang mendapat gelar ini antara lain Atha bin Abi Rabah (seorang mufti Mekkah, wafat 115 H), Muhammad al-Murtadha az-Zabidi (penyusun Syarh Ihya’ ‘Ulûm ad-Dîn), dan lain-lain. 

c)      Hafidz
Menurut banyak pakar hadîts, al-hâfidz artinya sama dengan muhaddits. Ada yang berpendapat bahwa al-hâfidz martabatnya lebih tinggi dari al-Muhaddits, karena ia lebih banyak mengetahui dari pada ketidak tahuannnya terhadap setiap tingkatan (thabaqât) para perawi Hadits. 
Menurut sebagian pendapat, al-hâfidz harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadîts Muadditsin yang mendapat gelar ini antara lain Al-Iraqi, Syarafuddin Ad-Dimyathi, Ibnu Hajar Al-Asgalani, dan lain-lain.



d)     Hâkim
Menurut sebagian ahli ilmu hadîts, al-hâkim berarti orang yang pengetahuannya mencakup seluruh hadîts, hanya sedikit saja yang tidak diketahuinya, Muhadditsin yang mendapat gelar ini antara lain Ibnu Dinar (w. 162 H), Al-Laits (w. 175 H), Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H). 
e)      Amîrul Mukminîn
Amîrul Mukminîn dalam ilmu Hadîts tidak terkait dengan kekhalifahan dalam politik/kenegaraan, melainkan berkaitan dengan penguasaan hadits seseorang.Amirul Mukminin dalam Ilmu Hadîts merupakan gelar tertinggi dalam Ilmu Hadits yang diberikan kepada seorang penghafal hadits dan mengetahui Ilmu Dirayah dan Riwayah hadîts pada masa tertentu, sehingga ia menjadi imam atau raja hadîts yang banyak dikagumi oleh para ulama .
Ulama mutaqaddimin yang mendapatkan gelar ini antara lain Syu’bahbin Al-Hajjaj, Sufyan Ats-Tsawari, Ishaq bin Rahawaih, Ahmad bin Al-Bukhari, Ad-Daruquthni, dan lain-lain. Sedang di kalangan muta-akhirin antara lain An-Nawawi, Al-Mizzi, Adz-Dzahabi, dan Al-Asqalani.

                       






BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan

Dari uraian di atas bisa di simpulkan  al-hadits  adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari nabi muhammad SAW yang dijadikan landasan syariat islam . hadits dijadikan sumber hukum islam selain al-qur'an yang mana kedudukannya hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-qur'an .
Perintis pertama ilmu hadits adalah al qadi abu muhammad ar-ramahurmuzy. pada mulanya, ilmu hadits merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan ulumul hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits dan para perawinya. akan tetapi pada masa berikutnya ilmu-ilmu itu digabungkan dan dijadikan satu serta tetap menggunakan nama ulumul hadits.









DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih, Dr. Subhi. 2002. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka  Firdaus.
Ahmad, H. Muhammad. 1998. Ulumul hadits. Bandung: Pustaka Setia. Ismail, M. S. 1994. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
Ahmad, Muhammad, dan Mudzakir, Muhammad, Ulumul Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003