BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah filsafat zaman modern adalah Para filsuf
zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau
ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.
Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme
beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari
rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan
itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang
mencoba memadukan kedua pendapat berbeda.
B.
Rumusan Masalah
Untuk membahas makalah ini lebih lanjut, di perlukan adanya rumusan
masalah sebagai berikut:
Apa yang di maksud Rasionalisme dan empirisme?
C.
Tujuan Penulisan
Untuk memenuhu tugas mata kuliah filsafat ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Rasionalisme
Setelah
pemikiran renaissance pada penyempurnaanya, yaitu telah tercapainya kedewasaan
pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengetahuan yang secara
alamiyah dapat di pakai manusia, yaitu akal ( rasio) dan pengalaman (empiri).
Karena
orang mempunyai kecenderungan untuk membentu aliaran berdasarkan salah satu di
antara keduanya, maka keduanya sama sama membentuk aliran tersendiri yang
saling bertentangan.
Dalam pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka
Rasionalisme menempati sebuah tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan
dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene
Descartes, Spinoza, leibzniz, dan Wolff, meskipun pada hakikatnya akar
pemikiran mereka dapat ditemukan pada pemikiran para filsuf klasik misalnya
Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Raasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang di
sebut sebagai bapak filsafat modern . ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan
ilmu kedokteran . ia menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa
bandinganya, harus disusun oleh satu orang , sebagai bangunan yang berdiri
sendiri menurut satu metode yang umum. Yang harus di pandang sebagai hal yang
benar adalah apa yang jelas dan terpilah pilah (Clear and distinctively). Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu
pasti karna ilmu pasti dapat di jadikan model cara mengenal secara dinamis.[1]
Rene Descartes yang mendirikan
aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat di percaya
adalah akal.
Hanya
pengetahuan yang di peroleh lewat akalah yang memenuhi syarat yang di tuntut
oleh semua ilmu pengetahan ilmiah . dengan akal dapat di peroleh kebenaran
dengan metode deduktif, seperti yang di contohkan dalam ilmu pasti.
Latar belakang munculnya
rasionalisme adalah keinginan untuk membebasskan diri dari segala pemikiran
tradisional (sekolastik), yang pernah diterima , tetapi ternyata tidak mampu
menangani hasil hasil ilmu pengetahuan yang di hadapi. Apa yang di tanam
aristoteles dalam pemikiran saat itu juga masih di pengaruhi oleh hayalan
hayalan.
Descartes menginginkan cara yang
baru dalam berfikir, maka di perlukan titi tolak pemikiran pasti yang dapat di
temukan dalam keragu raguan, Cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada).
Jelasnya , bertolak dari keraguan untuk mendapatkan kepastian.
Paham ini beranggapan, ada
prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusi. Dari
prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia.
Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan
dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Prinsip-prinsip tadi oleh
Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide
bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa diragukan
lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
- Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
- Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide “sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya.
- Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut
logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran
yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang
mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia
yang matematis. Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan
dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu manusia tidak dapat melakukan penyelidikan
ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu
kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran fakta/kebenaran pengalaman. Atas
dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan
yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi, yaitu kebenaran logis. Kedua;pengetahuan
yang didasari oleh observasi atau pengamatan, hasilnya disebut dengan
“kebenaran fakta”.
Paham Rasionalisme ini
beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Jadi dalam proses
perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dimulai dari
rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat memperolah ilmu
pengetahuan. Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir inilah yang
kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang akan
memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin banyak
pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuan lah manusia berbuat dan
menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan
tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat tadi.
Namun demikian, rasio juga
tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses
pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia nyata di
dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah
disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak
rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas
sekitar maka semakin dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.
Prof. Dr. Muhmidayeli,
M.Ag menulis dalam bukunya Filsafat Pendidikan yaitu “Kualitas rasio manusia
ini tergantung kepada penyediaan kondisi yang memungkinkan berkembangnya rasio
kearah yang memedai untuk menelaah berbagai permasalahan kehidupan menuju
penyempurnaan dan kemajuan” Dalam hal ini penulis memahami yang dimaksud
penyedian kondisi diatas ialah menciptakan sebuah lingkungan positif yang
memungkinkan manusia terangsang untuk berpikir dan menelaah berbagai masalah
yang nantinya memungkinkan ia menuju penyempunaan dan kemajuan diri.
Karena pengembangan
rasionalitas manusi sangat bergantung kepada pendyagunaan maksimal unsur
ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologis yang lebih
mendalam sebagai proses mental, maka untuk mengembangkan sumber daya manuia
menurut aliran rasionalisme ialah dengan pendekatan mental disiplin, yaitu
dengan melatih pola dan sistematika berpikir seseorang melalui tata logika yang
tersistematisasi sedemikian rupa sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data
dan fakta yang ada dalam keseluruhan realitas melalui uji tata pikir
logis-sistematis menuju pengambilan kesimpulan yang baik pula.
B.
Empirisme
Istilah
empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarticoba-coba atau pengalaman.
Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme.[2]
Kata empirisme menurut Amsal Bakhtiar berasal
dari kata Yunani empereikos yang berarti pengalaman. Menurut aliran
ini manusia memperoleh pengetahuan dari pengalaman
inderawi. Hal ini dapat dilihat bila
memperhatikan pertanyaan seperti:
“Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?” Seorang empiris akan mengatakan,
“Karena saya merasakan hal itudan karena seorang ilmuan telah merasakan seperti
itu”. Dalam pernyataantersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui
(subjek), yangdiketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin.
Bagaimanadia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat
alat peraba
dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang
sesuai.[3]
Sebagai
tokohnya adalah Thomas Hobbes , Jhon Locke, dan david Hume. Karna adanya
kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya , pandangan orang terhadap
filsafat mulai merosot hal ini terjadi karena filsafaat tidak berguna lagi bagi
kehidupan.
Pada
sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan . kemudian
beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya di
peroleh lewat indra (empiri), dan empirilah satu satunya sumber pengetahuan .
pengetahuan tersebut lahir dengan nama empirisme.
Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi
rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai
sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Thomas Hobbes menganggap
bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan
intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan
data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia
dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan
suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas
pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam
sejarah filsafat modern.
Prinsip-prinsip dan metode
empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke, penerapan tersebut terhadap
masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke
berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan
Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru
menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide
dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut
dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu.
Menurutnya akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal
tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain
hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu
yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi
dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang
timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah.
Pengalaman lahiriah adalah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita.
Sementara pengalahan bathinyah berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam
diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David
Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan
istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua macam, yaitu:
kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi,
secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi
yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan
cerminan dari kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya
kesan tertentu tentang apa yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah
rumah maka pada saat itu saya sedang memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika
sesorang akan diberi gagasan tentang “apel” maka terlebih dahulu ia harus punya
kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu mengenal objek “apel”. Jadi
menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat untuk menemukan
pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat
memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa
memperoleh ilmu pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa
sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme
tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai
perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah
ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya
sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang
metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu
metafisik.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri
atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber
pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari
pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme
menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro. Filsafat Umum. Cet.
V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Fuad Ihsan.
Filsafat Ilmu.(Jakarta :Rineka Cipta, 2010)
Amsal Bakhtiar,Filsafat Ilmu, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2012